Selamatkan Indonesia

Friday, May 4, 2012

Pameran Batik Tulis Kuno di Puro Pakualaman

TEMPO/Aris Andrianto
TEMPO.CO , Jakarta - Paguyuban Pencinta Batik Indonesia (PPBI) Sekarjagad Yogyakarta untuk pertama kalinya menggelar pameran batik yang menjadi koleksi dari kerabat Puro Pakualaman dan Keraton Yogyakarta.

Dalam pameran bertajuk "Mahakarya Pusaka Kemanusiaan Lisan dan Tak Benda Batik Tradisional Yogyakarta" yang digelar di Puro Pakualaman dari Sabtu-Senin 28-30 April 2012 itu, sedikitnya 100 koleksi batik tulis corak langka dipamerkan.

Dalam pameran itu setidaknya ada empat koleksi GKR Hemas yang dipamerkan, yakni motif Kothak Parang Barong Purnam, Kothak Kawung Naga Raja, Kotak Jatayu, dan Ceplok Purbonegoro Nithik.

Motif Barong, misalnya, memiliki kekhasan corak dengan bentuk parang yang kini telah langka berupa lekuk garis diagonal seperti tanda menyilang membetuk mahkota, yang pada bagian tengahnya terdapat ukiran "HB", sebagai inisial pemilik.

“Motif ini hanya dikenakan oleh Sinuhun Sultan Hamengku Buwono,” kata Ketua PPBI Sekarjagad, Larasati Suliantoro Sulaiman, Sabtu 28 April 2012. Sejenis dengan eksklusivitas pada batik bermotif Naga Raja yang hanya dikenakan seorang raja, selain garis lekuk diagonal, yang tersusun dari bulatan telur-telur, di bagian tengah tiap kotak tergambar seekor naga bermahkota secara presisi.

“Untuk motif ceplok, biasanya dikenakan raja yang bermakna bahwa pemimpin wajib memelihara negara sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

Menurut Sulianti, semakin sulit mencari para generasi baru pembatik yang mampu melukis motif-motif seperti jenis parang.

“Motif parang membutuhkan ketekunan luar biasa seorang pembatik, bagaimana menciptakan garis presisi berulang-ulang. Itu tidak mudah,” kata dia.

Motif parang unik juga dipamerkan GBPH Yudhaningrat dalam satu koleksinya dengan batik gembiraloka yang diciptakan KRAy Hastungkoro (istri HB IX). Dalam motif yang mengusung makna "gembira" (senang) dan loka (tempat) itu terdapat gambar setidaknya 32 macam satwa dengan latar gringsing (lekuk pilar diagonal) seperti gajah, merak, naga, dan lainnya.

Selain motif parang, motif yang kian sulit ditemui, kata Sulianti, juga motif semen-semenan.

Seperti batik milik B.R.Ay Gondokusumo dari Puro Pakulaman dengan motif berjudul Semen Gurdo. Pada motif yang didominasi sebaran lambang kadipaten Pakualaman ini detail lekuk guratan di semua bidang tergambar secara merata.

“Membayangkan lekuk kecil yang merata tapi tak saling bertumpuk secara rapi seperti itu butuh keahlian tertentu, sehingga satu sama lain bentuknya tidak timpang dan warnanya saling klop,” kata dia.

Sulianti menuturkan pameran yang dilangsungkan masih dalam rangkaian perayaan Hari Kartini dan se-abad HB IX itu guna mengkampanyekan kembali perlunya perhatian atas keberadaan batik tulis yang menjadi potensi Yogyakarta. PPBI Sekarjagad mencatat saat ini ada tak kurang 5 ribu pembatik tulis yang masih menunggu gerak pemerintah agar batik tulis tetap menggeliat sebagai kekayaan budaya.

“Sebenarnya geraknya sudah baik dengan mewajibkan PNS memakai batik di hari tertentu. Tapi yang dipakai itu batik printing, jadi malah makin menyudutkan pembatik tulis,” kata dia.

Mati surinya batik tulis yang tergeser batik printing juga dikatakan Sulianti karena euforia setelah batik dikukuhkan sebagai budaya dunia. Masyarakat pun berlomba mengenakan batik, tapi asal-asalan dan lupa bahwa yang diakui Unesco hanya batik tulis, cap, dan kombinasi dari keduanya.

PRIBADI WICAKSONO
Sumber : http://www2.tempo.co/read/news/2012/04/29/200400487/Pameran-Batik-Tulis-Kuno-di-Puro-Pakualaman

0 komentar:

Post a Comment

Kritik dan Sarannya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...