Ternyata Batik Palembang ada dan telah berumur 300 Tahun !!
SEBUAH fenomena langka terjadi sepanjang
tahun 2008 silam, ketika tiba-tiba saja batik ngetren sebagai busana
harian. Anak-anak muda tak lagi gengsi berbatik-ria ke kampus, mal,
pesta, termasuk buat gaul. Puncaknya 2 Oktober 2009 lalu, Presiden SBY
mencanangkan Hari Batik Nasional dan mendapat direspon positif
masyarakat di berbagai penjuru tanah air. Dunia internasional melalui
Unesco di PBB pun mengakui batik sebagai warisan budaya asli Indonesia.
Masyarakat Palembang tentu saja patut
berbangga hati. Dari ribuan jenis batik di Nusantara, Kesultanan
Palembang Darussalam ikut menyumbang motif khas yang masih eksis dan
diburu kolektor sampai saat ini.
Motif batik seperti jeperi, bakung,
jukung, babar emas, babar kecubung, dan daun teh diproduksi pengusaha
tekstil di Pekalongan dan diberi nama batik palembang. Banyak yang
tidak menyadari hal ini karena lebih familiar dengan kain songket.
Padahal, seni membatik sudah ada di Palembang sejak 300 tahun lalu.
Desainer songket/batik beken Mir Senen
masih menyimpan koleksi batik sebagi peninggalan Kerajaan Palembang
-pascakeruntuhan Kerajaan Sriwijaya- itu di galerinya.
Batik ini sangat elegan dan indah.
Warnanya didominasi merah dan emas karena pengaruh kuat budaya Cina.
Pada masanya hanya digunakan kaum borjuis atau keluarga kerajaan
menghadiri pesta pernikahan.
Berbagai motif batik sebagi, di
antaranya sumping, bungo dadar, bungo delimo, bebek pulang sore, bungo
pacik, bungo cino, dan bungo tanjung. Koleksi Mir Senen motif bungo
kenango dengan atasan kadaka yang sudah robek di beberapa bagian.
Bagian atasan merupakan kain panjang
yang dililitkan melingkari dada sampai perut. Sementara bawahan
berbentuk rok panjang berkuran besar. Sebagai pelengkap penampilan,
perempuan pada masa itu menggunakan selendang.
Batik ini menggunakan emas 24 karat
bagian bawahan dalam bentuk prada. Merupakan batik tulis yang
menggunakan pewarna bahan alami (non kimia) seperti buah rotan untuk
warna merah, getah nangka mencipta warna kuning, dan buah mengkudu untuk
warna biru.
“Kelebihan motif batik sebagi tidak
bisa ditiru, beda dengan songket,” kata Mir Senen ketika ditemui Sripo
di galerinya di Palembang, Sabtu (3/10).
Mir Senen mendapatkannya 30 tahun lalu
dari salah satu keluarga kaya asli Palembang. Kain ini pernah ditawar
Ny Hatta Radjasa, harganya mencapai puluhan juta.
Ia juga menyimpan 16 koleksi kayu
cetakan motif batik sebagi yang dibuat dari kayu. Nilai historis dan
seninya disebut-sebut lebih tinggi dari sejumlah motif batik Jawa yang
dicetak pakai tembaga. Meseum Bala Putra Dewa juga menyimpan koleksi
kayu itu.
Menurut Mir Senen, seni membatik
dibawa rakyat Jawa sewaktu Kerajaan Majapahit menaklukkan Sriwijaya dan
mengalami perkembangan pesat.
“Ada ratusan motif batik pada masa
itu. Pengaruh Cina begitu kuat membentuk identitas baru yang di Jawa
sendiri tidak ada,” katanya.
Perkembangan motif batik di Palembang
juga dipengaruhi kehidupan religus masyarakatnya. Pada masa Kerajaan
Palembang namanya Batik Palembangan menggunakan beragam bentuk hewan,
seperti motif Simbur Tanduk Menjangan warna biru putih.
Batik palembangan lebih modern dari
sebagi telah menggunakan kerah V dan mendapat pengaruh kuat budaya
Jawa. Mir Senen berkesempatan memamerkan dua lembar batik yang
didominasi warna coklat motif dan biru.
Perubahan terjadi pada batik palembang
di jaman Kesultanan Palembang Darussalam yang menggunakan motif bunga.
Warna kuning dan emas kembali mendominasi selain orange dan coklat.
Batik ini sekarang diproduksi di Pekalongan.
“Nenek moyang Palembang yang bikin,
Pekalongan yang punya nama. Sayang sekali karena semestinya kita harus
akui produk daerah sendiri,” kata Mir Senen
0 komentar:
Post a Comment
Kritik dan Sarannya