|
TEMPO/Aris Andrianto |
TEMPO.CO ,
Jakarta
- Paguyuban Pencinta Batik Indonesia (PPBI) Sekarjagad Yogyakarta untuk
pertama kalinya menggelar pameran batik yang menjadi koleksi dari
kerabat Puro Pakualaman dan Keraton Yogyakarta.
Dalam pameran
bertajuk "Mahakarya Pusaka Kemanusiaan Lisan dan Tak Benda Batik
Tradisional Yogyakarta" yang digelar di Puro Pakualaman dari Sabtu-Senin
28-30 April 2012 itu, sedikitnya 100 koleksi batik tulis corak langka
dipamerkan.
Dalam pameran itu setidaknya ada empat koleksi GKR
Hemas yang dipamerkan, yakni motif Kothak Parang Barong Purnam, Kothak
Kawung Naga Raja, Kotak Jatayu, dan Ceplok Purbonegoro Nithik.
Motif
Barong, misalnya, memiliki kekhasan corak dengan bentuk parang yang
kini telah langka berupa lekuk garis diagonal seperti tanda menyilang
membetuk mahkota, yang pada bagian tengahnya terdapat ukiran "HB",
sebagai inisial pemilik.
“Motif ini hanya dikenakan oleh Sinuhun
Sultan Hamengku Buwono,” kata Ketua PPBI Sekarjagad, Larasati Suliantoro
Sulaiman, Sabtu 28 April 2012. Sejenis dengan eksklusivitas pada batik
bermotif Naga Raja yang hanya dikenakan seorang raja, selain garis lekuk
diagonal, yang tersusun dari bulatan telur-telur, di bagian tengah tiap
kotak tergambar seekor naga bermahkota secara presisi.
“Untuk
motif ceplok, biasanya dikenakan raja yang bermakna bahwa pemimpin wajib
memelihara negara sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Menurut Sulianti, semakin sulit mencari para generasi baru pembatik yang mampu melukis motif-motif seperti jenis parang.
“Motif
parang membutuhkan ketekunan luar biasa seorang pembatik, bagaimana
menciptakan garis presisi berulang-ulang. Itu tidak mudah,” kata dia.
Motif
parang unik juga dipamerkan GBPH Yudhaningrat dalam satu koleksinya
dengan batik gembiraloka yang diciptakan KRAy Hastungkoro (istri HB IX).
Dalam motif yang mengusung makna "gembira" (senang) dan loka (tempat)
itu terdapat gambar setidaknya 32 macam satwa dengan latar gringsing
(lekuk pilar diagonal) seperti gajah, merak, naga, dan lainnya.
Selain motif parang, motif yang kian sulit ditemui, kata Sulianti, juga motif semen-semenan.
Seperti
batik milik B.R.Ay Gondokusumo dari Puro Pakulaman dengan motif
berjudul Semen Gurdo. Pada motif yang didominasi sebaran lambang
kadipaten Pakualaman ini detail lekuk guratan di semua bidang tergambar
secara merata.
“Membayangkan lekuk kecil yang merata tapi tak
saling bertumpuk secara rapi seperti itu butuh keahlian tertentu,
sehingga satu sama lain bentuknya tidak timpang dan warnanya saling
klop,” kata dia.
Sulianti menuturkan pameran yang dilangsungkan
masih dalam rangkaian perayaan Hari Kartini dan se-abad HB IX itu guna
mengkampanyekan kembali perlunya perhatian atas keberadaan batik tulis
yang menjadi potensi Yogyakarta. PPBI Sekarjagad mencatat saat ini ada
tak kurang 5 ribu pembatik tulis yang masih menunggu gerak pemerintah
agar batik tulis tetap menggeliat sebagai kekayaan budaya.
“Sebenarnya geraknya sudah baik dengan mewajibkan PNS memakai batik di hari tertentu. Tapi yang dipakai itu batik
printing, jadi malah makin menyudutkan pembatik tulis,” kata dia.
Mati surinya batik tulis yang tergeser batik
printing
juga dikatakan Sulianti karena euforia setelah batik dikukuhkan sebagai
budaya dunia. Masyarakat pun berlomba mengenakan batik, tapi
asal-asalan dan lupa bahwa yang diakui Unesco hanya batik tulis, cap,
dan kombinasi dari keduanya.
PRIBADI WICAKSONO
Sumber : http://www2.tempo.co/read/news/2012/04/29/200400487/Pameran-Batik-Tulis-Kuno-di-Puro-Pakualaman